Materi Agama Hindu Kelas XI
BAB V KELUARGA SUKHINAH
A. PENGERTIAN DAN HAKEKAT KELUARGA SUKHINAH
Perenungan:
Aksayu nau madhusamk¢äe anikam nau samanjanam
antah krnusva m¢m hrdi mana innau sah¢sati
(Atharva Veda VII.36.1)
Terjemahannya:
Hendaknya manis bagaikan madu cinta kasih dan pandangan antara suami
dan istri penuh keindahan. Semogalah senantiasa hidup bersama dalam suasana
bahagia tanpa kedengkian (di antara mereka). Semoga satu jiwa dalam dua badan.
Memahami Teks:
Melaksanakan Wiwaha atau perkawinan bagi masyarakat Hindu memiliki
makna, arti, dan kedudukan yang sangat penting. Dalam Catur Asrama, Wiwaha
termasuk fase Grehasta Asrama. Memasuki fase Grehastha “Wiwaha” oleh
masyarakat Hindu, dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia, seperti
dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra; bahwa Wiwaha tersebut bersifat
sakral, wajib hukumnya, dalam artian harus dilakukan oleh setiap orang yang
hidupnya normal. Melaksanakan Wiwaha bagi umat Hindu yang sudah cukup
umur merupakan salah satu amanat dharma dalam hidup dan kehidupan ini.
Perkawinan atau Wiwaha tidak baik
dilakukan jika karena dipaksakan, pengaruh
orang lain, dan sikap kekerasan yang lainnya.
Hal ini perlu dipahami dan dipedomani untuk
menghindari terjadinya ketegangan setelah
menjalani Grehasta Asrama. Keberhasilan
yang dapat mengantarkan dalam Wiwaha
atau perkawinan adalah karena adanya
sifat dan sikap saling mencintai, saling
mempercayai, saling menyadari, kerja sama,
saling mengisi, bahu-membahu dan yang lainnya dalam setiap kegiatan rumah
tangga. Terbentuknya keluarga bahagia dan kekal haruslah disertai adanya
keseimbangan antara hak dan kewajiban, di mana hak dan kewajiban serta
kedudukan suami dan istri harus seimbang dan sama meskipun swadharmanya
berbeda dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Mengapa perkawinan/
Gambar : 5.1 Wiwaha
Wiwaha itu mesti dilaksanakan? Berikut ini akan diuraikan tentang pengertian
dan hakikat dari “Wiwaha” sebagai berikut;
Berdasarkan sastra agama Hindu dijelaskan ada empat tahapan kehidupan
yang disebut Catur asrama. Tahap pertama adalah belajar, menuntut ilmu yang
disebut Brahmacari. Tahap yang kedua adalah Grehasta,yaitu hidup berumah
tangga. Tahap ketiga adalah Wanaprastha, yakni mulai belajar melepaskan
diri dari ikatan duniawi dan tahap keempat adalah Bhiksuka (Sanyasin) yaitu
menyebarkan ilmu pengetahuan kerohanian kepada umat, dengan mengabdikan
diri sepenuhnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
Wiwaha atau perkawinan dalam masyarakat Hindu memiliki arti dan kedudukan
khusus dan penting sebagai awal dari masa berumah tangga atau Grehastha
Asrama. Apakah yang dimaksud dengan perkawinan, Wiwaha dan Grehastha
Asrama itu?
Sejak awal kehidupan manusia, ternyata bersatunya antara seorang wanita
dengan seorang laki-laki yang disimbulkan dengan akasa dan pertiwi sebagai
cikal bakal sebuah kehidupan baru yang diawali dengan lembaga perkawinan.
Hendaknya laki-laki dan perempuan yang telah terikat dalam ikatan perkawinan
selalu berusaha agar tidak bercerai dan selalu mencintai, menyayangi dan setia
sampai hayat hidupnya. Jadikanlah hal ini sebagai hukum yang tertinggi dalam
ikatan suami-istri. Keluarga yang dibentuk hanya berlangsung sekali dalam
hidup manusia. Keluarga atau rumah tangga bukanlah semata-mata tempat
berkumpulnya laki dan wanita sebagai pasangan suami istri dalam satu rumah,
makan-minum bersama. Namun mengupayakan terbinanya kepribadian dan
ketenangan lahir dan batin, hidup rukun dan damai, tenteram, bahagia dalam
upaya menurunkan tunas muda yang suputra.
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Bab I
Pasal 1:
Menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa.
Pasal 2:
Menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan demikian, perkawinan menurut pandangan Hindu bukanlah sekedar
legalitas hubungan biologis semata, tetapi merupakan suatu peningkatan nilai
berdasarkan hukum Agama, karena Wiwaha Samkara adalah merupakan upacara
sakral atau skralisasi peristiwa kemanusiaan yang bersifat wajib. Keluarga
bahagia yang menjadi tujuan Wiwaha Samkara dalam terminologi Hindu
disebut keluarga Sukhinah, yaitu merupakan unsur yang sangat menentukan
terbentuknya masyarakat sehat (sane society). Keluarga Sukhinah disebut
keluarga yang sejahtera. Kata keluarga berasal dari bahasa Sanskerta dari urat
kata “kula” yang artinya abadi atau hamba dan “warga” artinya jalinan/ikatan
pengabdian. Keluarga artinya jalinan/ikatan pengabdian seorang suami, istri dan
anak. Jadi, keluarga adalah persatuan yang terjalin di antara seluruh anggota
keluarga dalam rangka pengabdiannya kepada amanat dasar yang mesti diemban
oleh keluarga yang bersangkutan. Sedangkan kata “sejahtera” yang berarti segala
kebutuhan lahir dan bathin yaitu: Bhoga, Upabhoga, Paribhoga yaitu sandang,
pangan dan papan serta jalinan kasih yang sejati. Jadi, pengertian keluarga
sejahtera (Sukhinah) menurut pandangan Hindu adalah terpenuhinya kebutuhan
hidup jasmani dan rohani hidup dalam suasana berkecukupan, selaras, serasi dan
seimbang sesuai swadharma atau kewajiban masing-masing.
Membangun keluarga Sukhinah tidak hanya ditentukan oleh suami dan
istri tetapi sebuah keluarga Sukhinah juga sangat ditentukan oleh sikap bhakti
anak-anak terhadap kedua orang tuanya. Dalam keluarga Hindu, anak adalah
orang yang menjadi pelindung bagi orang yang memerlukan pertolongan serta
menolong kaum kerabat yang tertimpa kesengsaraan, untuk kesedekahan hasil
usahanya, menyediakan makanan untuk orang miskin, orang demikian itu
dinamakan putra sejati.
Ada tiga hal penting yang juga harus dipahami dalam membentuk keluarga
Sukhinah yaitu: 1). Semua memiliki persepsi dan pengertian yang sama mengenai
keluarga Sukhinah. Setiap orang tentunya memiliki persepsi yang berbeda dalam
mengartikan sesuatu hal. Namun perbedaan persepsi bisa menjadikan seseorang
dengan yang lainnya bermusyawarah dan menemukan satu konsep yang akan
dipakai dalam menjalankan sesuatu. Seorang suami, istri dan anak-anaknya harus
mempunyai satu konsep yang bisa dipakai sebagai tonggak dalam membina
keluarganya, 2). Kemauan bersama untuk mewujudkanya dengan tindakantindakan yang nyata. Setelah memiliki konsep yang kuat dalam keluarga
tentunya konsep itu harus didukung dengan tindakan yang nyata. Seorang suami,
istri dan anak-anaknya harus mempunyai kesadaran dalam melakukan sesuatu
hal yang baik untuk membangun keluarga yang sejahtera (Sukhinah) dengan
berlandaskan dharma dan ajaran agama, 3). Semua anggota keluarga memiliki
kemauan untuk memeliharanya. Setelah didukung dengan tindakan yang nyata
berlandaskan dharma dan agama, seorang suami, istri dan anak-anaknya juga
mempunyai kewajiban untuk selalu menjaga keutuhan keluarganya dan bersamasama memilihara ketenangan keluarga.
Perkawinan ialah ikatan sekala niskala (lahir batin) antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal (satya alaki-rabi).Istilah ‘keluarga‘ berasal dari bahasa
Sansekerta, dari kata ‘kula’ artinya Abadi atau hamba dan ‘warga‘ artinya jalinan/
ikatan pengabdian. Keluarga artinya jalinan/ikatan pengabdian suami, istri dan
anak. Jadi, keluarga adalah persatuan yang terjalin di antara seluruh anggota
keluarga dalam rangka pengabdiannya kepada amanat dasar yang mesti di emban
oleh keluarga yang bersangkutan. Sedangkan kata’ Sejahtera ‘berarti terpenuhi
segala kebutuhan lahir dan batin. Bhoga, Upabhoga, pari bhoga (Depag.
RI, 1983:21) yaitu sandang, pangan dan papan serta jalinan kasih yang sejati.
Pengertian Keluarga sejahtera menurut Padangan Hindu adalah terpenuhinya
kebutuhan hidup jasmani dan rohani hidup dalam suasana berkecukupan, selaras,
serasi dan seimbang sesuai suadharma atau kewajiban masing-masing.
Hakikat perkawinan adalah sebagai awal menuju Grhasta merupakan
masa yang paling penting dalam kehidupan manusia. Setiap orang yang akan
melaksanakan perkawinan harus menyadari arti dan nilai perkawinan bagi
manusia, sehingga nilai itulah menjadi landasan kehidupan suami istri sesudah
perkawinan dilaksanakan.
Perkawinan menurut ajaran agama Hindu adalah Yajna, sehingga orang
memasuki ikatan perkawinan akan menuju gerbang grhasta asrama yang
Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti 301
merupakan lembaga suci yang harus dijaga keberadaan serta kemuliaannya.
Lembaga yang suci ini hendaknya dilaksanakan dengan kegiatan yang suci pula
seperti melaksanakan dharma agama dan dharma negara, termasuk di dalamnya
melaksanakan Panca Yajna. Di dalam Grhasta Asrama inilah tiga tujuan hidup
sebagai landasan yang harus dilaksanakan yaitu:
1. Dharma, adalah aturan-aturan yang harus dilaksanakan dengan
kesadaran yang berpedoman pada dharma agama dan dharma negara.
2. Artha, adalah segala kebutuhan hidup berumah tangga untuk
mendapatkan kesejahteraan yang berupa materi dan pengetahuan.
3. Kama, adalah rasa kenikmatan yang telah diterima dalam keluarga
sesuai dengan ajaran agama.
Selain itu perkawinan juga mempunyai nilai yang penting bagi proses
kehidupan manusia yaitu:
a. Dan orang yang dipimpin pada masa remaja menjadi orang yang
memimpin sebagai bapak atau ibu rumah tangga.
b. Dan orang yang berkonsumsi (meminta, menerima) menjadi orang
yang memproduksi (menghasilkan) segala kebutuhan hidup.
Dengan demikian nampak jelas bahwa masa Grhasta Asrama menjadi
puncak kesibukan manusia dalam membina nilai-nilai kehidupan. Masa Grhasta
Asrama inilah yang harus menjadi pusat perhatian bagi umat Hindu, sehingga
keluarga Hindu dituntut untuk:
1. Hidup dalam kesadaran sujud kepada Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa.
2. Bebas dari avidya (memiliki pengetahuan).
3. Giat bekerja.
4. Sadar berYajna.
Dengan pedoman tersebut di atas tidak akan terjadi dalam keluarga Hindu
kebodohan, malas, pemborosan, melupakan leluhur, sebab kesempurnaan
keluarga Hindu tercipta dalam ikatan Tri Hita Karana.
Komentar
Posting Komentar