Kelas X BAB V CATUR ASRAMA

 

BAB V Catur Asrama

       I.   Pengertian

 

Kata Catur Asrama berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata Catur dan Asrama. Catur berarti empat dan kata Asrama berarti tempat atau lapangan ’kerohanian’. Kata ’asrama’ sering juga dikaitkan dengan jenjang kehidupan. Jenjang kehidupan itu berdasarkan atas tatanan rohani, waktu, umur, dan sifat perilaku manusia. Jadi Catur Asrama berarti empat jenjang kehidupan yang berlandaskan petunjuk kerohanian Hindu.

Adanya empat jenjang kehidupan dalam ajaran agama Hindu dengan jelas memperlihatkan bahwa hidup itu diprogram menjadi empat fase dalam kurun waktu tertentu.  Sehingga dapat digariskan bahwa pada umumnya orang yang berada dalam fase pertama dan tidak boleh atau kurang tepat menuruti tatanan hidup dalam fase yang kedua, ketiga, ataupun keempat. Demikian seterusnya diantara satu fase hidup dengan kehidupan berikutnya.

 

    II.   Bagian-bagian Catur Asrama dan Kewajibannya

 

Naskah Jawa Kuno yang diberi nama Agastya Parwa menguraikan tentang bagian-bagian Catur Asrama. Dalam kitab Silakrama itu dijelaskan sebagai berikut:

“Catur Asrama ngaranya Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha,

Bhiksuka, Nahan tang Catur Asrama ngaranya”

(Sīlakrama hal 8).

Terjemahan:

Yang bernama Catur Asrama adalah Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, dan Bhiksuka.

 

1.      Brahmacari

Brahmacari terdiri atas dua kata yaitu kata Brahma dan kata cari. Kata Brahma berarti ilmu pengetahuan atau pengetahuan suci. Kata cari berarti tingkah laku dalam mencari atau mengejar ilmu pengetahuan. Jadi Brahmacari berarti tingkatan hidup bagi orang yang sedang menuntut ilmu pengetahuan. Brahmacari atau Brahmacarya dikenal juga dengan istilah hidup aguron-guron atau Asewaka guru. Dalam istilah Jawa kuno disebut dengan lapangan hidup asrama, yaitu tempat penampungan bagi siswa yang sedang menuntut ilmu. Di dalam tingkatan Brahmacari ini guru mendidik para siswa atau murid dengan petunjuk kerohanian, kebajikan, amal, pengabdian dan semuanya itu didasari oleh Dharma (kebenaran).

Demikian juga Brahmacari merupakan pondasi/dasar untuk menempuh tingkat dan jenjang kehidupan lainnya seperti Grhastha (berumah tangga) wanaprastha dan Biksuka lapangan atau tingkat hidup pada masa menuntut ilmu ini. Siswa tidak boleh melakukan perkawinan. Jadi hubungan seksual itu sangat dilarang. Namun setelah tamat masa Brahmacari tersebut, menurut pandangan sosiologi dalam masyarakat Hindu, maka dilanjutkan dengan kehidupan jenjang yang kedua yaitu Grhastha hidup berumah tangga/suami istri.

Dengan adanya hubungan sosiologis tersebut maka tingkat hidup Brahmacari itu dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu:          

 

1)      Sukla Brahmacari

Sukla Brahmacari yaitu orang yang tidak kawin sejak dari kecil sampai tiba ajalnya atau mati. Orang yang melaksanakan Sukla Brahmacari dengan sungguhsungguh maka dalam ingatannya tidak ada terlintas nafsu seks dan beristri. Kesadaran melaksanakan Sukla Brahmacari ini memang tumbuh dari getaran batin dan hatinya yang suci murni. Bukan disebabkan karena menderita penyakit kelamin (impoten) dan lain sebagainya (Silakrama halaman 32).

 

2)      Sawala Brahmacari

Sawala Brahmacari ialah orang yang kawin beristri atau bersuami hanya sekali saja. Selanjutnya tidak akan kawin lagi, walaupun suami atau istrinya meninggal dunia. Dalam hidupnya mereka sudah bertekad hanya kawin sekali saja. Dalam Silakrama hal. 32 disebutkan “Sawala Brahmacari namanya bagi orang yang hanya kawin satu kali, tidak kawin lagi. Bila mendapat halangan salah satu meninggal, maka ia takkan kawin lagi hingga datang ajalnya. Demikianlah yang namanya Sawala Brahmacari.”

 

3)      Tṛṣṇa (Krsna) Brahmacari

Tṛṣṇa Brahmacari berarti kawin lebih dari satu kali yaitu sampai batas maksimal empat kali. Keempat istri-istri yang dikawini itu adalah istri yang sah menurut hukum, baik hukum agama maupun perundang-undangan yang ada. Tṛṣṇa Brahmacari ini dapat dilakukan apabila:

  1.        Istri yang pertama tidak dapat melahirkan keturunan. Demikian juga istri yang kedua juga tidak melahirkan anak-maka seorang suami bisa kawin lagi sampai batasnya empat.
  2.    Istri tidak dapat melaksanakan tugas sebagaimana mestinya (sakit yang tak dapat disembuhkan).

 

Yang harus diperhatikan tiap pengambilan istri yang baru, harus seizin istri-istri yang terdahulu demi menjaga ketenteraman dan kerukunan rumah tangga. Dalam hal ini suami harus dapat memenuhi kebutuhan dalam keluarga sehingga benar-benar dapat mencerminkan keluarga yang sejahtera dan bahagia. Tetapi kalau Trsna (Krsna) Brahmacari itu dilakukan atas dorongan nafsu untuk kepuasan (kama), maka orang semacam itu tidak dapat disebut Trsna Brahmacari. Walaupun dalam Tṛṣṇa Brahmacari disebutkan boleh kawin lebih dari satu kali, namun ada aturan yang harus ditaati agar ketenteraman rumah tangga tetap dapat terbina. Aturan atau syarat-syarat yang harus ditaati bagi yang mau menjalankan kehidupan Tṛṣṇa Brahmacari adalah:

  1.         Mendapatkan persetujuan dari istri/istri-istrinya.
  2.         Suami harus bersifat adil terhadap istri-istrinya secara lahir dan batin.
  3.         Suami sebagai seorang ayah harus dapat berlaku adil terhadap anak-anak yang dilahirkan.

 

Kewajiban dalam Brahmacari:

Sebagai seorang siswa yang sedang menuntut ilmu pengetahuan ia harus taat terhadap petunjuk dan nasihat yang diajarkan oleh guru yang mengajarnya. Dalam ajaran agama Hindu kita mengenal adanya empat guru, yang disebut dengan Catur Guru, yaitu:

a.       Guru Swadyaya, yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Mahaesa).

b.      Guru Rupaka, yaitu orang tua (Ibu dan Bapak) yang melahirkan dan membesarkan kita.

c.       Guru Pangajian, yaitu guru yang mendidik dan mengajar di sekolah.

d.      Guru Wisesa, yaitu pemerintah.

Kewajiban terhadap Guru Swadyaya:

Adapun kewajiban sebagai seorang siswa terhadap Guru Swadyaya tersebut, harus taat terhadap segala petunjuk dan ajaran-Nya dan cara sujud bakti memujanya. Hyang Widhi Wasa sebagai guru dari alam semesta beserta isinya, sering digelari dengan sebutan “Dewa Guru” atau Sang Hyang Paramesti Guru. Berguru ke hadapan Tuhan dapat dilakukan dengan cara mentaati ajaran suci yang telah diwahyukan melalui para maharesi. Setiap hari kita harus mendekatkan diri pada Beliau sebagai Guru dari semua guru. Dalam hubungan ini kita manusia adalah murid dari Sang Hyang Widhi (Tuhan), yang sering disebut dengan “Brahmacarin”. Brahman artinya TuhanCarin artinya berguru. Jadi berguru kepada Tuhan.

Amal baik atau perbuatan dosa yang dilakukan selama berguru kepada Hyang Widhi hasilnya berupa subha dan asubha karma. Subha asubha karma ini dapat diterima hasilnya berupa:

a.  Sancita Karmaphala, yaitu hasil perbuatan pada waktu kehidupannya yang lalu, baru dapat dinikmati pada kehidupannya sekarang ini.

b. Prarabda Karmaphala, yaitu perbuatan pada waktu kehidupan sekarang, langsung dapat dinikmati sekarang juga.

c.  Kriymana Karmaphala, yaitu hasil perbuatan pada kehidupan sekarang, tapi belum sempat dinikmati dalam kehidupan sekarang ini, sehingga dapat dinikmati pada kehidupan yang akan datang.

Kewajiban kepada Guru Rupaka:

Guru Rupaka ialah orang tua (Ibu dan Bapak) yang mengadakan atau yang ngerupaka kita. Adapun kewajiban kita kepada Guru Rupaka berdasarkan pada adanya Tiga hutang yang dimiliki oleh seorang anak terhadap orang tuanya yang patut dibayar untuk memenuhi darma baktinya terhadap orang tua sebagai guru rupaka yang terdapat dalam Sarasamuccaya sloka 242, yaitu:

1)      Śarīra kṛta, yaitu hutang badan (sarira data).

2)    Annadatta, yaitu hutang budhi karena orang tualah yang memberikan makan, minum, pakaian, pendidikan, dan lain sebagainya.

3)      Praṇadatta, yaitu hutang jiwa dalam arti pemeliharaan atau kelanjutan hidup.

Dengan memperhatikan hutang tersebut di atas, maka seorang anak berusaha melakukan “Swadharmanya” dengan rela hati melayani segala keperluan orang tuanya. Selanjutnya seorang anak berkewajiban memberikan atau mengorbankan harta benda, tenaga dan pikirannya untuk kebahagiaan orang tuanya. Malahan lebih dari itu seorang anak ihklas mengorbankan jiwa dan raganya demi untuk berbakti pada orang tua. Di samping itu masih ada suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang anak terhadap leluhurnya yaitu melaksanakan upacara Pitra Yadnya. Namun yang paling penting pembayaran hutang pada orang tua adalah pada waktu orang tua masih hidup, yaitu dengan jalan membuat bahagia hati orang tuanya.

Dengan memperhatikan Sarasamuccaya sloka 241, maka pahala yang diperoleh oleh orang yang hormat pada orang tua ialah ada empat hal yaitu:

a.       Kerti yaitu kemasyuran yang baik.

b.      Yusa yaitu panjang umur.

c.       Bala yaitu kekuatan.

d.      Yasa yaitu jasa atau penghargaan.

Kewajiban kepada Guru Pengajian:

Yang dimaksud dengan Guru Pengajian ialah guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan yang memberi pendidikan tertentu, di sekolah maupun di asrama. Seorang murid tidak boleh menjelek-jelekkan atau menghina guru. Hal ini disebut dengan istilah alpaka Guru (menentang guru), siswa (murid) harus taat dan menuruti nasihat serta ajaran-ajaran Guru Pengajian.

·         Umur untuk belajar (Brahmacari)

Kitab Dharmasastra oleh Rsi Yajnawalkya menyatakan bahwa umur untuk mulai belajar adalah umur semasih kanak-kanak yakni umur lima tahun dan selambat-lambatnya umur delapan tahun. Pada umur delapan tahun seorang anak harus sudah menikmati masa belajar melalui proses belajar mengajar. Sedangkan kitab Grihya Sutra menyatakan bahwa masa belajar berlangsung jangan sampai melampaui batas umur 24 tahun. Ini berarti setelah berumur 24 tahun seseorang sudah semestinya mempersiapkan diri untuk memasuki masa hidup Grhasta. Dalam kitab Niti Sastra ada dijelaskan seorang yang berumur di atas 20 tahun sudah dinyatakan dewasa dan wajib memikirkan masa hidup berikutnya.

·         Tata tertib pada masa belajar

a.       Siswa wajib taat dan bakti pada catur guru (guru susrusa).

b.      Siswa harus hidup sederhana.

c.       Berpakaian bersih, rapi, sopan dan sederhana.

d.      Makan sederhana (aharalaghawa).

e.       Siswa harus bisa dan biasa hidup jujur.

f.       Tidur secukupnya dan sepatutnya.

g.      Tidak menghibur diri berlebih-lebihan (liar),

h.      Tidak kawin selama masa belajar.

·         Upacara dalam masa belajar

Sebelum mengikuti dan menerima materi pelajaran, seorang calon siswa terlebih dahulu diupacarai yang disebut upacara Upanayana. Adapun maksud upacara tersebut adalah untuk membersihkan pribadi siswa agar ilmu kesucian yang diterimanya dapat menetap dengan harmonis pada dirinya. Demikian pula pada saat mengakhiri masa pendidikan maka semua siswa diupacarai lagi dengan upacara Samawartana. Mengenai maksud upacara ini ialah untuk menguatkan penempatan ilmu pada pribadi siswa agar ilmu yang diperolehnya selama belajar benar-benar dikuasai dan dapat menolong hidupnya.

Kewajiban kepada Guru Wisesa (Pemerintah)

Guru Wisesa ialah pemerintah yang sah. Sebagai seorang siswa, dan sekaligus juga merupakan bagian dari anggota masyarakat maka kita harus menghormati dan menjunjung tinggi martabat bangsa, negara, dan pemerintahannya.

 

2.      Gṛhaṣtha

Gṛhaṣtha ialah tingkat kehidupan pada waktu membina rumah tangga yaitu sejak kawin. Kata Grha berarti rumah atau rumah tangga. “Stha (stand) artinya berdiri atau membina. Tingkat hidup Gṛhaṣtha yaitu menjadi pimpinan rumah tangga yang bertanggung jawab penuh baik sebagai anggota keluarga maupun sebagai anggota masyarakat serta sekaligus sebagai warga negara jenjang kehidupan. Grhastha dapat dilaksanakan apabila keadaan fisik maupun psikis dipandang sudah dewasa dan bekal pengetahuan sudah cukup memadai.

Setelah memasuki tingkat hidup Grhastha, bukan berarti masa belajar atau menuntut ilmu itu berakhir sampai disitu saja. Belajar tidak mengenal batas usia. Belajar berlangsung selama hayat dikandung badan. Maka orang mengatakan masa muda adalah masa belajar. Hal ini mengandung arti bahwa tidak ada istilah tua dalam hal belajar. Karena ilmu pengetahuan itu sifatnya berkembang terus. Ilmu yang didapatkan dalam jenjang Brahmacari itu lebih diperdalam serta ditingkatkan lagi setelah menginjak hidup berumah tangga (Gṛhaṣtha). Dalam hidup berumah tangga ini ada beberapa kewajiban yang perlu dilaksanakan yaitu:

a.       Melanjutkan keturunan

b.      Membina rumah tangga

c.       Bermasyarakat

d.      Melaksanakan Pañca Yajña

Untuk itu maka dalam jenjang kehidupan ini masalah artha dan kama menduduki tujuan utama, dengan berlandaskan darma (kebenaran).

Menurut undang-undang Perkawinan yaitu UU. No. 1 Tahun 1974 bahwa suami dan istri masing-masing memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Secara garis besarnya kewajiban-kewajiban tersebut adalah:

a.       Hak dan kedudukan suami istri dalam pergaulan kehidupan dalam masyarakat adalah seimbang.

b.      Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

c.       Suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

d.    Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, dan saling memberikan bantuan secara lahir dan batin.

Hidup suami istri merupakan suatu keharmonisan dan kesatuan hidup lahir dan batin. Hal ini disimbulkan sebagai ardanaraswari yaitu persatuan antara laki dan perempuan dalam satu badan.

Garis-garis besar mengenai kewajiban Suami-Istri dicantumkan dalam Kitab Manavadharmasastra Bab. IX mulai dari pasal 1 sampai dengan pasal 103. Menurut kitab suci Hindu (Weda Smerti) seorang suami berkewajiban:

a.       Melindungi istri dan anak-anaknya. la harus mengawinkan anaknya kalau sudah waktunya.

b.   Menugaskan istrinya untuk mengurus rumah tangga dan urusan agama dalam rumah tangga ditanggung bersama.

c.       Menjamin hidup dengan memberi nafkah kepada istrinya bila akan pergi keluar daerah.

d.    Memelihara hubungan kesucian dengan istri, saling percaya mempercayai, memupuk rasa cinta dan kasih sayang serta jujur lahir batin. Suka dan duka dalam rumah tangga ditanggung bersama sehingga terjaminnya kerukunan dan keharmonisan.

e.  Menggauli istrinya dan mengusahakan agar tidak terjadi perceraian dan masing-masing tidak melanggar kesucian.

f.   Tidak merendahkan martabat istri. Janganlah terlalu cemburuan, yang menyebabkan timbulnya percekcokan dan perceraian dalam keluarga.

 

Di samping kewajiban suami menurut Weda Smerti, ditetapkan pula pokok kewajiban istri, sebagai timbal balik dari kewajiban suaminya. Kewajibannya ini meliputi kewajiban sebagai seorang istri dan kewajiban sebagai wanita dalam rumah tangga. Adapun kewajibannya itu adalah:

a.  Sebagai seorang istri dan sebagai seorang wanita hendaknya selalu berusaha tidak bertindak sendiri-sendiri. Setiap rencana yang akan dibuat harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan suami.

b.    Istri harus pandai membawa diri dan pandai pula mengatur dan memelihara rumah tangga, supaya baik dan ekonomis.

c.  Istri harus setia pada suami dan pandai meladeni suami dengan hati yang tulus ikhlas serta menyenangkan.

d.    Istri harus dapat mengendalikan pikiran, perkataan, dan tingkah laku dengan selalu berpedoman pada susila. la harus dapat menjaga kehormatan dan martabat suaminya.

e.     Istri harus dapat memelihara rumah tangga, pandai menerima tamu, dan meladeni dengan sebaik-baiknya.

g.      Istri harus setia dan jujur pada suami, dan tidak berhati dua.

h.      Hemat cermat dalam menggunakan harta kekayaan, tidak berfoya-foya, dan boros.

i.     Tahu dengan tugas wanita, rajin bekerja, merawat anak dan meladeni kepentingan semua keluarga. Berhias diwaktu perlu.

 

3.      Wanaprastha

Wanaprastha terdiri dari dua rangkaian kata Sansekerta yaitu wana artinya pohon kayu, hutan semak belukar dan prastha artinya berjalan/berdoa paling depan dengan baik. Pengertian Wanaprastha dimaksudkan berada dalam hutan, mengasingkan diri dalam arti menjauhi dunia ramai secara perlahan-lahan untuk melepaskan diri dan keterikatan duniawi. Dalam upaya melepaskan diri yang dimaksud adalah berusaha membatasi dan mengendalikan diri dari unsur Triguna yaitu sifat Rajas dan Tamas, agar dalam Satwam kerohaniannya lebih mantap dan diberkahi oleh Hyang Widhi sebagai tujuannya menjadi lebih dekat.

Tingkatan hidup Wanaprastha merupakan persiapan diri mengurangi keterikatan dan keterlibatan dengan kehidupan duniawi. Dalam kehidupan sehari-hari tingkatan hidup Wanaprastha ini dapat dilaksanakan setelah anak kita dewasa semua bebas dari tanggungan. Pada masa kehidupan Wanaprastha ini, tanggung jawab rumah tangga dan kewajiban-kewajiban selaku anggota masyarakat, diambil alih oleh anak dan cucu. Pusat perhatian pada jenjang ini adalah mengarah pada kenikmatan rohani yang bersifat abadi yaitu Moksa dan tidak terikat lagi dengan Artha dan Kama.

Adapun manfaat menjalankan hidup Wanaprastha adalah:

a)      Untuk mencapai ketenangan rohani.

b)  Memanfaatkan sisa-sisa kehidupan di dunia ini untuk mengabdi dan berbuat amal kebajikan kepada masyarakat umum.

c)      Melepaskan segala keterikatan terhadap duniawi.

Masa yang baik untuk mulai menempuh hidup sebagai seorang Wanaprastha adalah setelah berusia kurang lebih 60 tahun ke atas. Karena pada usia seperti itu, anak-anaknya sudah dapat hidup mandiri. Bagi seorang pegawai negeri ia sudah pensiun sehingga ia sudah lepas dan bebas dari tugas dinasnya. Maka menempuh hidup Wanaprastha bagi setiap orang tidak sama usianya, karena tingkat sosial ekonomis tiap-tiap orang adalah berbeda.

 

4.      Bhiksuka/Sanyasin

Bhiksuka juga sering disebut Sanyasin (dimaksudkan meninggalkan keduniawiaan dan hanya mengabdi kepada Hyang Widhi dengan memperluas ajaran-ajaran kesucian)Kata Bhiksuka berasal dari kata Bhiksu, sebutan untuk pendeta Buddha. Bhiksu artinya meminta-minta (dimaksudkan ia tidak boleh mempunyai apa-apa dalam pengabdiannya pada Hyang Widhi dan untuk makannya pun ditanggung oleh murid-murid pengikutnya ataupun umatnya sendiri). Bhiksuka ialah tingkat kehidupan yang lepas dari ikatan keduniawian dan hanya mengabdikan diri kepada Hyang Widhi dengan jalan menyebarkan ajaran-ajaran kesusilaan.

Bagi orang yang telah menjalankan hidup Bhiksuka, akan mencerminkan suatu sifat dan tingkah laku yang baik serta bijaksana. Seorang Bhiksuka akan selalu memancarkan sifat-sifat yang menyebabkan orang lain menjadi bahagia. Dia akan tetap menyebarkan angin kesejukan, angin kebenaran, tidak mudah diombang-ambing oleh gelombang kehidupan duniawi. Dia telah mampu menundukkan musuh-musuh yang ada dalam dirinya, seperti Sad Ripu, Sapta Timira, Sad Atatayi dan Tri Mala.

Sad Ripu

Sad Ripu adalah enam macam musuh yang ada dalam setiap diri manusia. Musuh-musuh ini perlu dikendalikan dari diri kita, sehingga dapat menerapkan kehidupan Bhiksuka dengan baik. Adapun keenam musuh tersebut sebagai berikut:

a.       Kama artinya hawa nafsu

b.      Lobha artinya loba/tamak.

c.       Krodha artinya kemarahan

d.      Moha artinya kebingungan

e.       Mada artinya kemabukan

f.       Matsarya artinya iri hati

Sapta Timira

Sapta Timira artinya tujuh kegelapan. Yang dimaksud dengan tujuh kegelapan ialah tujuh hal yang menyebabkan pikiran orang menjadi gelap. Kegelapan pikiran ini dapat menimbulkan tingkah laku yang jelek dan menyimpang dari ajaran agama. Ketujuh kegelapan itu adalah:

a.       Surupa artinya kecantikan atau ketampanan

b.      Dhana artinya kekayaan

c.       Guna artinya kepandaian

d.      Kulina artinya keturunan

e.       Yowana artinya masa muda

f.       Sura artinya minuman keras

g.      Kasuran artinya keberanian

 

 

Sad Atatayi

Sad Atatayi artinya enam macam pembunuh kejam. Keenam pembunuh ini adalah:

a.       Agnida artinya membakar milik orang lain

b.      Wisada artinya meracun

c.       Atharwa artinya melakukan ilmu hitam

d.      Satraghna artinya mengamuk

e.       Dratikrama artinya memperkosa

f.       Raja pisuna artinya memfitnah

 

Tri Mala

Tri mala artinya tiga macam perbuatan kotor yaitu:

a.       Kasmala yaitu perbuatan yang hina dan kotor.

b.      Mada yaitu perkataan, pembicaraan yang dusta dan kotor.

c.       Moha yaitu pikiran perasaan yang curang dan angkuh.

 

 

 


Sumber:

Sudirga, Ida Bagus dkk. 2014. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Untuk Siswa SMA/SMK Kelas X. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Agama Hindu Kelas XI

MATERI 1 PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDHI PEKERTI KELAS XI